SPASISULSEL.COM – Makassar _ Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, Kadir Wokanubun, menyoroti dugaan tidak relevannya petunjuk jaksa penuntut umum (P-19) dalam penanganan perkara dugaan penipuan online yang dilaporkan oleh warga Makassar, Franky Harlindong, ke Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (Polda Sulsel). Ia menyebut, jika benar sebagaimana disampaikan Kanit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sulsel, Kompol Iqbal, bahwa jaksa memberi petunjuk agar penyidik menyita telepon genggam milik pelapor, maka hal itu bisa dikategorikan sebagai penyimpangan kewenangan penuntut umum.
“Dalam sistem hukum pidana kita, petunjuk jaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 110 ayat (3) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP, serta ditegaskan dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020, harus bersifat relevan, logis, dan proporsional, serta berkaitan langsung dengan kelengkapan unsur tindak pidana,” ujar Kadir saat dimintai tanggapannya oleh Kedai-Berita.com via telepon, Rabu, (29/10/2025).
Ia menjelaskan, petunjuk jaksa diberikan hanya untuk melengkapi berkas perkara, bukan untuk memerintahkan tindakan yang tidak memiliki hubungan langsung dengan pembuktian unsur pidana.
“Kalau petunjuk itu justru menyasar hak pribadi pelapor, seperti meminta penyitaan HP korban yang bukan objek tindak pidana, maka petunjuk tersebut tidak sah secara hukum dan bisa dikategorikan cacat administratif maupun etis,” kata Kadir.
Kadir menegaskan, jaksa wajib menjunjung asas obyektivitas dan due process of law, serta tidak boleh melampaui batas kewenangannya sebagaimana diatur dalam Kode Perilaku Jaksa (Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-067/A/JA/07/2007).
“Jaksa dilarang menyalahgunakan wewenang atau memberi arahan yang berpotensi menghambat proses peradilan,” tambahnya.
Korban Didorong Lapor ke Jamwas dan Komisi Kejaksaan
Lebih jauh, Kadir menilai petunjuk yang tidak relevan seperti itu bisa berimplikasi serius terhadap tertundanya keadilan dan mandeknya penegakan hukum. Ia mendesak agar korban melapor jika merasa dirugikan.
“Jika benar petunjuk tersebut diberikan sebagaimana disebutkan oleh Kompol Iqbal, maka korban berhak melaporkan dugaan penyimpangan itu ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) atau Komisi Kejaksaan RI,” ujar Kadir.
Ia menegaskan, mekanisme pengawasan internal di Kejaksaan dapat menindaklanjuti dugaan pelanggaran etik atau penyalahgunaan kewenangan oleh jaksa penuntut umum.
“Akibat dari petunjuk yang tidak tepat bisa sangat serius, yakni perkara bisa mandek selama bertahun-tahun, korban kehilangan hak atas keadilan, dan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum menurun,” ucapnya.
Menurutnya, tindakan seperti itu juga bisa melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, yang melarang pejabat publik menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan tugas.
“Bahkan, jika ada unsur pemaksaan atau penyalahgunaan jabatan, Pasal 421 KUHP dapat diterapkan,” tegasnya.
Kadir menilai Kejaksaan Agung perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap praktik pemberian petunjuk (P-19) agar tidak dijadikan alat mengendalikan penyidikan.
“Makna petunjuk P-19 harus dikembalikan pada esensinya yaitu membantu memperkuat pembuktian, bukan menambah beban bagi korban,” kata dia.
Kronologi Kasus: Dari Laporan Franky hingga Pernyataan Kompol Iqbal
Kasus dugaan penipuan online ini dilaporkan oleh Franky Harlindong pada Desember 2021 ke Polda Sulawesi Selatan dengan nomor laporan STTLP/B/432/XII/2021/SPKT/POLDA SULSEL, diterima oleh AKP Abd. Samad, S.H., M.H., yang kala itu menjabat Kepala Siaga I SPKT Polda Sulsel.
Dalam laporannya, Franky menyebut terlapor berinisial SS menggunakan akun dan alamat surat elektronik palsu untuk melakukan penipuan dan penggelapan dana melalui media sosial Facebook dan WhatsApp. Ia menilai tindakan itu melanggar Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Franky mengaku proses penyidikan berjalan sangat lambat sejak awal. Berkas perkaranya disebut sempat beberapa kali dikembalikan oleh jaksa penuntut umum karena dianggap belum lengkap. Namun menurut Franky, penyidik justru diminta menyita telepon genggam miliknya, bukan barang-barang milik tersangka.
“Tidak ada satu pun barang milik tersangka yang disita. Telepon genggam, akun, maupun email yang dipakai untuk menipu tidak disentuh penyidik,” kata Franky.
Ia mengaku khawatir ponselnya rusak jika disita tanpa jaminan pertanggungjawaban.
“Kami hanya ingin kebenaran terungkap, tapi penyidik juga harus melindungi hak pelapor,” ujarnya.
Setelah tiga tahun tanpa perkembangan berarti, Franky berharap Kapolda Sulsel yang baru dapat mengevaluasi penanganan perkara tersebut.
“Kami hanya ingin proses hukum berjalan sesuai aturan,” katanya.
Sementara itu, Kompol Iqbal menegaskan bahwa penyidikan dilakukan sesuai prosedur. Ia menyebut, “Penyidikan terkendala karena pelapor tidak bersedia menyerahkan barang bukti (HP). Petunjuk jaksa meminta agar penyidik melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut.”
Kadir Wokanubun menilai, pernyataan itu justru membuka ruang evaluasi terhadap praktik koordinasi antara penyidik dan jaksa.
“Kalau benar petunjuknya memang seperti itu, maka inilah contoh bagaimana petunjuk yang salah arah bisa menyebabkan perkara tersendat bertahun-tahun. Korban berhak meminta keadilan melalui saluran resmi pengawasan,” tegasnya.(**)
(Abu)






