SPASISULSEL.COM – Makassar _ Penanganan penyitaan mobil milik seorang pengepul barang rongsokan di Makassar, Alimuddin, oleh Polrestabes Makassar menuai sorotan akademisi hukum. Mobil jenis Suzuki APV putih miliknya telah disita hampir dua bulan terakhir dalam kaitan dengan kasus dugaan pencurian besi pagar sisa kebakaran Gedung DPRD Kota Makassar.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKI Paulus), Jermias Rarsina, menilai penyidik Polrestabes keliru menerapkan jalur hukum dalam menangani perkara tersebut. Ia menegaskan, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, perkara yang nilai kerugiannya tidak lebih dari Rp2,5 juta wajib diproses sebagai tindak pidana ringan (tipiring) dengan acara cepat, bukan dengan mekanisme penyidikan dan penuntutan biasa.
“Sekalipun seseorang diduga melakukan perbuatan pidana, prosedur hukumnya tidak boleh ditempuh lewat jalur biasa seperti penyidikan–penuntutan–pengadilan umum. Untuk tindak pidana dengan nilai kerugian di bawah Rp2,5 juta, hukum acara yang berlaku adalah acara cepat sebagaimana diatur dalam Perma Nomor 2 Tahun 2012,” tegas Jermias, Senin (27/10/2025).
Ia kemudian menguraikan pokok ketentuan hukum acara dalam Perma tersebut, yang secara tegas membedakan antara tipiring dan tindak pidana biasa.
Pertama, penyidik atau penyidik pembantu membuat berkas perkara, dan bila sudah lengkap, langsung dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan tanpa melalui kejaksaan. Kedua, pelaku tidak ditahan, tetapi perkaranya tetap diproses dengan acara cepat. Dalam waktu tiga hari setelah berkas selesai, penyidik harus membawa tersangka ke pengadilan. Ketiga, pengadilan wajib menetapkan hari sidang dalam waktu tujuh hari sejak berkas diterima, dan sidang segera dilaksanakan. Keempat, pemeriksaan perkara langsung masuk ke pembuktian dan terdakwa diberi hak untuk menyampaikan pleidoi terhadap tuntutan penyidik, yang dalam konteks ini mengambil peran jaksa penuntut umum.

“Biasanya seluruh proses ini selesai dalam 10 sampai 14 hari, sudah ada putusan pengadilan. Itu sebabnya disebut acara cepat,” ujar Jermias.
Asas Pertanggungjawaban Hukum
Menurutnya, prinsip penting dalam hukum pidana adalah asas geen straf zonder schuld, yakni seseorang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan yang diperbuatnya. Dalam kasus Alimuddin, kata Jermias, tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatannya dalam pencurian atau pembakaran Gedung DPRD.
“Kesalahannya terbatas pada membeli barang bekas berupa pagar besi seharga Rp50 ribu, yang nilainya jauh di bawah Rp2,5 juta. Jadi tidak bisa disamakan dengan pelaku pencurian atau perusakan gedung,” jelasnya.
Ia menilai tindakan penyidik yang menyatukan berkas penyitaan mobil Alimuddin dengan perkara besar pembakaran dan pencurian di DPRD Makassar sebagai langkah keliru secara hukum acara.
“Penyitaan mobilnya sah, karena digunakan untuk mengangkut barang hasil dugaan kejahatan. Tapi tidak boleh disatukan dengan perkara pokoknya. Harus diproses terpisah melalui mekanisme tipiring, bukan tindak pidana umum,” tegas Jermias.
Kronologi Versi Alimuddin
Alimuddin menjelaskan bahwa ia tak tahu jika besi pagar yang dibeli sopirnya ternyata berasal dari sisa kebakaran Gedung DPRD Makassar. Ia mengira barang itu hanya besi rongsokan biasa.
“Sopir saya ditelepon orang, disuruh jemput besi di Vida View, Jalan Ance Dg Ngoyo. Setelah ditimbang, saya kasih uang bensin Rp50 ribu. Dua hari kemudian polisi datang, baru saya tahu kalau itu pagar DPRD,” katanya.
Mobil pickup miliknya lalu disita penyidik Polrestabes Makassar. Ia mengaku kesulitan bekerja sejak kendaraannya ditahan.
“Sudah hampir dua bulan mobilku disita. Saya cuma harap bisa dipinjam pakai, karena itu satu-satunya mobil usaha saya,” ujarnya.
Sementara sopirnya, Irsan Hafid, menuturkan bahwa dirinya hanya menjalankan perintah pekerjaan. “Saya tidak tahu asal barang itu. Saya hanya disuruh jemput dan ditimbang. Baru setelah polisi datang, saya tahu kalau itu dari DPRD,” ungkapnya.
Prosedur Hukum yang Dipertanyakan
Jermias menilai kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana ketidakcermatan penyidik dalam menerapkan asas hukum dapat berimplikasi pada cacat formil berkas perkara.
“Kalau nilai kerugian di bawah Rp2,5 juta, Perma sudah jelas mengatur harus acara cepat. Kalau ini malah berbulan-bulan dan disatukan dengan kasus lain, maka patut dipertanyakan mekanismenya,” katanya.
Ia menambahkan, dalam konteks keadilan substantif, penting bagi aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum secara proporsional, agar masyarakat kecil seperti pengepul barang bekas tidak menjadi korban ketidaktepatan prosedur.
“Ini bukan soal membela pelaku, tapi soal memastikan hukum berjalan sesuai relnya. Karena keadilan tidak hanya soal menghukum, tapi juga memastikan prosedur ditegakkan dengan benar,” tutupnya.
Hingga berita ini diterbitkan, Polrestabes Makassar belum memberikan keterangan resmi terkait status penyitaan mobil Alimuddin serta perkembangan penanganan berkas perkara yang dikaitkan dengan kasus pencurian sisa kebakaran Gedung DPRD Makassar.(**)
(Abu)






